Berita

Klaster Pilkada VS Klaster Omnibus Law, Bahaya Mana?

×

Klaster Pilkada VS Klaster Omnibus Law, Bahaya Mana?

Sebarkan artikel ini
Klaster Pilkada VS Klaster Omnibus Law, Mana yang Paling Membahayakan?

CIANJURUPDATE.COM – Di masa pandemi Covid-19 yang masih ruwet, kita dihadapkan dengan ketegangan-ketegangan yang melebihi malam pertama pengantin baru. Antara Pilkada 2020 dan Omnibus Law, keduanya menjadi kekhawatiran tentang munculnya Klaster Baru Covid-19 di masyarakat. Tapi, apakah kedua klaster punya bahaya dan potensi yang sama? Atau malah isu konspirasi itu beneran jadi nyata?

Masyarakat sempat digemparkan dengan pemerintah yang ngotot untuk tetap melaksanakan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. Otomatis, masyarakat yang kritis dan sadis itu mulai beraksi dengan berbagai protes. Soalnya, pemerintah sempat gembar-gembor bahwa mereka lebih memprioritaskan kesehatan masyarakat di masa pandemi. Dengan Pilkada tetap dijalankan, masyarakat merasa terkhianati, dong.

Protes-protes masyarakat bermunculan di Twitter dan media sosial lainnya. Sudah seperti perang dingin, perang hashtag antar warganet pun tak terelakan. Kemarahan itu pun memunculkan rasa ingin golput di Pilkada nanti. Dan, seruan-seruan itu muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Baik mahasiswa atau pun buruh.

Tapi, sepertinya protes masyarakat tidak digubris. Pilkada 2020 akan tetap berlanjut, melaju sesuai jalur demi menuntaskan estafet kepemimpinan di daerah. Dengan dalih protokol kesehatan, pemerintah menjamin kesehatan masyarakat akan tetap aman saat pemungutan suara.

Apakah dengan protokol kesehatan bisa mencegah penularan? Ya, bisa aja, sih. Toh, sampai sekarang protokol kesehatan masih digencarkan untuk dipatuhi masyarakat. Namun, kekhawatiran masyarakat tetap ada. Bahkan banyak yang memilih untuk tidak datang ke TPS.

Jauh sebelum itu, ketika pendaftaran para bapaslon Pilkada, kebanyakan dari mereka dan para simpatisannya tidak mematuhi protokol kesehatan. KPU yang sudah banyak mengimbau malah kewalahan dan banyak kena tegur. Kasihan, kan. Tapi, yang namanya simpatisan, pasti pengen pamer bahwa calon pemimpinnya yang terhebat.

Klaster Pilkada, menjadi ancaman tersendiri yang memang bisa saja terjadi. Tapi, dengan aturan pemerintah yang sangat ketat. Bukan tidak mungkin bisa dicegah. Korbannya? Tingkat partisipasi masyarakat bisa saja turun drastis. Takut Covid-19 menjadi alasan yang paling banyak muncul dalam menanggapi hal ini.

Kemudian, belum lama ini Indonesia kembali digemparkan dengan pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang begitu cepat, senyap, mematikan. Melebihi pasukan TNI terbaik Indonesia, DPR RI berhasil membuat emosi masyarakat meledak-ledak bagai gunung Krakatau.

Unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pun terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kerusuhan dan tindakan anarkis merajalela melebihi copet-copet yang ada di pasar Cipanas, Cianjur. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat lainnya bersatu untuk menolak UU sapu jagat tersebut.

Masyarakat yang awalnya menentang pilkada karena Covid-19, membuat kerumunan dalam aksi unjuk rasa. Pada tiga hari pertama, 6-8 Oktober 2020, menjadi awal aksi yang sangat panjang ini. Masyarakat mulai tidak percaya pada pemerintah yang terus berdusta dan berselingkuh. Mereka menyesal telah terbuai dengan berbagai gombalan maut atas nama kesejahteraan masyarakat.

Toh, pemerintah juga ngotot ngadain Pilkada di Tengah Covid-19. Kenapa tidak boleh unjuk rasa? Pikiran seperti ini menjadi penanda bahwa masyarakat sudah marah besar. Tapi, apakah unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang itu lebih berbahaya dari pada Pilkada? Apakah resiko klasternya sama?

Perbedaannya ada di regulasi pemerintah. Pilkada memiliki regulasi khusus agar mencegah terjadi penularan. Baik dari dalam maupun dari luar TPS. Tapi, unjuk rasa Omnibus Law juga berawal dari regulasi pemerintah yang bikin emosi. Jika semuanya berawal dari pemerintah, maka siapa yang salah? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Kondisi Covid-19 di Indonesia yang sulit mereda dan terus melonjak, bisa saja semakin melonjak dengan adanya unjuk rasa itu. Tapi, coba kita bayangkan, apa jadinya jika Pilkada ditunda sampai tahun 2021? Bagaimana jika UU Omnibus Law tidak disahkan? Apakah akan aman sentosa?

Sudah seharusnya pemerintah bisa lebih mempertimbangkan kekhawatiran masyarakat. Ketika masyarakat sudah khawatir, aksinya sudah sama seperti orang tua yang memarahi anaknya yang pulang telat. Minimal, sosialisasi secara masif dari berbagai lini bisa membuat masyarakat merasa terperhatikan. Kita juga kalau gak dikasih perhatian sama pacar, kan suka marah-marah.

Termasuk Omnibus Law. Jika memang ada hoax, seharusnya langsung klarifikasi di awal. Tapi, dengan pengesahan yang terkesan cepat, senyap, mematikan ini membuat masyarakat ragu dan bertanya “ada apa?” Ini dinamika antara pemerintah dan masyarakat.

Ini juga bisa jadi tanda bahwa masyarakat sudah sangat cerdas. Jika tak ada masalah kenapa disahkan secara diam-diam dan buru-buru. Pilkada, jika memang sudah terjamin, ya, sosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang lugas dan rasional akan memunculkan kepercayaan kembali.

Untuk memperbaiki ini, ada dua pilihan. Pertama, pemerintah dan masyarakat harus PDKT lagi sampai satu frekuensi dan mencapai tujuan sesuai asas Pancasila. Atau mencari pemimpin baru sesuai keinginan masyarakat agar masa depan “mungkin” bisa membaik. Tapi, dari sini kita tahu, DPR RI sangat hebat! Punya kemampuan seperti TNI, cepat, senyap, dan mematikan.(*)

Tinggalkan Balasan