banner 325x300
Berita

Menilik Sejarah Terowongan Lampegan dan Misteri Hilangnya Seorang Penari Ronggeng

×

Menilik Sejarah Terowongan Lampegan dan Misteri Hilangnya Seorang Penari Ronggeng

Sebarkan artikel ini
Menilik Sejarah Terowongan Lampegan dan Misteri Hilangnya Seorang Penari Ronggeng
LAMPEGAN: Sejarah dan kisah mistis Terowongan Lampegan Desa Cibokor selalu menjadi daya tarik wisatawan untuk datang berkunjung. (Foto: Istimewa)

CIANJURUPDATE.COM – Terowongan Lampegan merupakan salah satu terowongan tertua di Indonesia dan menjadi terowongan kereta api pertama yang dibangun di Jawa Barat. Lampegan yang dibangun pada 1879–1882 itu berlokasi di Pasir Gunung Keneng, Desa Cibokor Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Terowongan ini dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara Staatspoorwegen (SS) dan berada pada lintasan jalur kereta api Sukabumi-Cianjur yang membentang sepanjang 39 kilometer. Terowongan ini dibangun untuk mendukung jalur kereta api rute Bogor-Sukabumi-Bandung.

Selayaknya kisah bangunan-bangunan tua, Terowongan Lampagen pun tak lepas dari kisah misteri maupun mistis. Konon, di dalam terowongan sering kali muncul penampakan wanita berkebaya merah yang diyakini sebagai Nyi Sadea.

Nyi Sadea merupakan penari ronggeng terkenal asal Cianjur pada masa Hindia Belanda. Ia diyakini memiliki paras yang cantik dengan kulit putih yang diwarisi dari salah satu kakeknya yang berdarah Belanda.

Pada masa itu, Nyi Sadea sudah menginjak usia 25 tahun, namun belum juga memiliki pendamping hidup. Bersama dengan grup kesenian ronggenggnya, ia diundang untuk menghibur dalam pesta peresmian Terowongan Lampegan yang dihelat dengan sangat meriah.

“Para pejabat Hindia Belanda pusat dari Batavia dan Priyangan pun hadir. Bahkan, tampak Gubernur Hindia Belanda yang saat itu dijabat oleh Cornelis Pijnacker Hordik, termasuk Bupati RAA Prawiradireja,” seperti dikutip dari buku Kisah Tanah Jawa (2018:11).

Bersama dengan dua rekannya, Nyi Sadea menari di bawah rintik hujan memakai kemben merah dan selendang kuning. Ia berlenggak-lenggok di atas panggung kecil di mulut terowongan yang diterangi lampu pijar.

Jelang tengah malam, setelah penampilan Nyi Sadea berakhir, ia berteduh di dalam terowongan sambil menunggu hujan deras mereda. Tidak lama dari itu, Nyi Sadea mendengar suaranya dipanggil kemudian Ia berjalan memasuki terowongan, lalu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana dengan hilangnya Nyi Sadea menjadi legenda hingga saat ini.

Dalam Kisah Tanah Jawa diceritakan bahwa Nyi Sadea diperistri oleh pemimpin gaib di wilayah itu. Menurut pengamatan retrocognition yang tim Kisah Tanah Jawa lakukan, Nyi Sadea dijadikan tumbal bagi pemimpin istana gaib di atas bukit Terowongan Lampegan yang bernama Razamandala.

Ia dikorbankan sebagai syarat agar pemimpin gaib itu tidak mengganggu proses pembangunan, karena selama proses pembangunan Terowongan Lampegan, sering ada pekerja yang meninggal. Razamandala tak meminta ritual tertentu, cukup dengan mengadakan acara ronggeng yang mengundang penari tercantik di wilayah Priangan.

Versi lainnya, penduduk setempat percaya bahwa Nyi Sadea dijadikan tumbal, tetapi bukan dengan cara menghilang sendiri tanpa jejak karena dijemput sesuatu yang gaib. Namun, karena dijadikan tumbal dan jasadnya ditanam dalam tembok terowongan.

Terlepas dari misteri hilangnya Nyi Sadea, ada banyak kisah yang menceritakan toponomi Lampegan. Dalam buku Kisah Tanah Jawa (2018), disebutkan bahwa nama Lampegan tercetus dari percakapan orang Belanda ketika kereta api memasuki terowongan.

“Lamp a gan,” begitu katanya untuk memerintahkan supaya lampu segera dinyalakan untuk membantu masinis mengemudi dalam terowongan gelap itu.

Versi lainnya mengatakan bahwa Lampegan merupakan perintah mandor proyek Van Beckman yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan Inggris pada anak buahnya.

“Lamp pegang! Lamp Pegang!,” katanya ketika hendak memasuki terowongan untuk memantau hasil kerja mereka.

Ada pula versi lainnya mengatakan bahwa Lampegan berasal dari teriakan kondektur kereta api, ketika memasuki kereta api yang menyuruh penjaga untuk menyalakan lampu sambil berseru, “Lampen aan! Lampen aan!”, yang artinya “Nyalakan lampu.”

Meski begitu, apapun versi ceritanya, hasilnya para penduduk sekitar yang salah mendengar teriakan, seruan, maupun perintah itu memahaminya sebagai Lampegan.(ct7/sis)

banner 325x300
banner 325x300

Tinggalkan Balasan