Gaya Hidup

Parosmia! Gejala Baru Covid-19 yang Membuat Pasien Kesulitan Mengidentifikasi Bau

×

Parosmia! Gejala Baru Covid-19 yang Membuat Pasien Kesulitan Mengidentifikasi Bau

Sebarkan artikel ini
Parosmia! Gejala Baru Covid-19 yang Membuat Pasien Kesulitan Mengidentifikasi Bau
PAROSMIA: Jika sebelumnya ada anosmia yang merupakan kondisi hilangnya indra penciuman, kini ada parosmia yaitu suatu kondisi di mana pasien mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi bau. (Foto: Istimewa)

CIANJURUPDATE.COM – Sudah banyak gejala yang muncul akibat Covid-19, kini muncul gejala terbaru yaitu parosmia. Gejala ini berbeda dengan anosmia yang merupakan kondisi hilangnya indra penciuman, parosmia adalah suatu kondisi pasien mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi bau.

“Pasien dengan parosmia mempersepsikan bau yang tidak sesuai dengan kenyataannya,” ucap dokter spesialis THT dari Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada, dr Anton Sony Wibowo, SpTHT-KL, MSc, FICS, dikutip Cianjur Update, Selasa (9/2/2021).

Misalnya bau yang harum mungkin akan tercium menjadi busuk. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang gejala Covid-19 parosmia.

Gejala parosmia cukup banyak dijumpai pada pasien Covid-19 di luar negeri. Dalam beberapa penelitian di luar negeri, kemunculan parosmia cukup banyak berkisar 50,3 hingga 70 persen.

Sementara itu, penelitian terkait parosmia di Indonesia belum banyak dilakukan. Parosmia dapat terjadi pada pasien Covid-19 akibat virus SARS Cov2 yang memengaruhi jalur proses penciuman seseorang. Hal tersebut bisa dari reseptor saraf penciuman (saraf kranial 1), saraf penciuman, atau sampai dengan pusat persepsi saraf penciuman.

Selain akibat virus, kemunculan parosmia juga disebabkan hal yang beragam. Beberapa di antaranya infeksi saluran pernapasan atas, cidera kepala, atau kelainan otak seperti tumor. Berikut ini adalah fakta-fakta gejala parosmia:

Fakta Gejala Parosmia

Penyebab Parosmia

Parosmia bisa terjadi karena adanya kerusakan di neuron yang berfungsi sebagai pendeteksi bau di dalam hidung. Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi virus maupun kondisi kesehatan lainnya.

Kerusakan neuron ini mengubah penafsiran bau yang diterima bulbus olfaktorius yang memiliki fungsi untuk penciuman, sensitivitas deteksi bau, atau menyaring bau.

Selain karena infeksi virus, parosmia juga bisa disebabkan oleh paparan asap rokok dan bahan kimia, cedera kepala, efek samping pengobatan kanker, dan tumor.

Diagnosis Parosmia

Dalam mendiagnosis adanya indikasi parosmia, ahli THT akan meminta pasien untuk mencium aroma dari suatu zat dan diminta untuk menjelaskannya.

Beberapa kondisi kesehatan pun akan diperiksa oleh dokter, seperti apakah adanya riwayat kanker, kondisi neurologis keluarga, infeksi yang baru dirasakan, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan.

Selanjutnya, pengujian parosmia juga bisa melalui rontgen sinus, biopsi daerah sinus, atau MRI (magnetic resonance imaging) juga mungkin dilakukan.

Pemulihan Parosmia

Kondisi parosmia biasanya tidak permanen. Neuron pendeteksi bau di hidung dapat membaik seiring berjalannya waktu.

Waktu pemulihannya bisa berbeda-beda tergantung dari penyebab, gejala, dan pengobatan yang dijalani. Apabila parosmia disebabkan oleh virus atau infeksi, indra penciuman dapat kembali normal tanpa pengobatan. Namun, butuh waktu antara dua sampai tiga tahun untuk pemulihannya.

Terkadang pembedahan diperlukan untuk mengobati parosmia. Perawatan parosmia meliputi mengonsumsi vitamin A, zinc, dan antibiotik. Meski begitu, pengobatan parosmia perlu didampingi dan diawasi oleh dokter yang ahli di bidangnya.

Gejala anosmia yang telah muncul di awal pandemi dan kini parosmia. Namun, terdapat beberapa gangguan penciuman lain. Salah satunya hyposmia berupa menurunnya kemampuan mendeteksi bau. Lalu, cacosmia yang menjadikan seseorang secara terus menerus mencium bau yang tidak menyenangkan.

Pada infeksi Covid-19 terdapat gangguan penciuman atau yang dikenal dengan dysosmia yang bisa berupa anosmia, parosmia, cacosmia, maupun hyposmia.(ct7/sis)

Tinggalkan Balasan