banner 325x300
Berita

Pelestarian Budaya Kian Meredup, Budayawan Cianjur Dorong Adanya Perbup Ngaos, Mamaos, dan Maenpo

×

Pelestarian Budaya Kian Meredup, Budayawan Cianjur Dorong Adanya Perbup Ngaos, Mamaos, dan Maenpo

Sebarkan artikel ini
Pelestarian Budaya Kian Meredup, Budayawan Cianjur Dorong Adanya Perbup Ngaos, Mamaos, dan Maenpo
REDUP: Pelestarian budaya makin redup, budayawan dan seniman Cianjur dorong adanya Perbup Tiga Pilar Budaya. (Foto: Afsal Muhammad/cianjurupdate.com)

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Tiga pilar budaya Cianjur (ngaos, mamaos, dan maenpo) dinilai makin redup karena kurangnya komunikasi antara pemerintah, budayawan, dan seniman. Tak heran jika kini, pelestarian budaya di Cianjur tidak berkesinambungan dan sangat terimbas saat pandemi Covid-19 melanda Cianjur.

Budayawan Cianjur, Abah Ruskawan menilai, pemerintah sudah memberi dukungan, namun masih sangat minim. Tetapi, lanjutnya, hal tersebut bisa saja seniman dan budayawan yang salah karena tidak mampu bersilaturahmi dan meyakinkan program-program kebudayaan yang sudah mereka rancang pada pemerintah.

“Perlu ada kajian juga, di sisi lain belum ada payung hukum Cianjur soal pelestarian tiga pilar budaya, meskipun ada Perda tapi belum ada Perbup. Dengan Perbup bisa diatur, misalnya pelestarian tiga pilar budaya Cianjur harus menerima anggaran dua persen dari anggaran pendidikan. Sehingga kalau itu tidak dilaksanakan, kita bisa komplain pada pemerintah,” ujar Abah kepada Cianjur Today, Senin (15/3/2021).

Maka dari itu, ia menilai, seniman, budayawan, pemerintah, hingga DPRD harus duduk bersama untuk bisa menyelesaikan persoalan ini. Termasuk untuk mengetahui pihak mana yang selama ini membuat tiga pilar budaya meredup.

“Jangan-jangan mungkin salah seniman juga karena tidak membuat program kerja yang wajar, realistis, dan terukur. Atau apakah seniman di Cianjur tidak pernah membuat pengembangan seni dan budaya di Cianjur. Padahal potensi bisnis Cianjur itu adalah pariwisata dan pertanian,” jelasnya.

Abah mengatakan, Cianjur memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat kuat. Termasuk pernah menjadi Ibu Kota Priangan, bahkan surat kabar pertama milik pribumi lahir di Cianjur.

“Kalau situasi sepi seperti ini yang salah siapa? Jangan-jangan Cianjur belum punya aturan yang memayungi budaya untuk bisa berkembang,” ungkapnya.

Berkaitan dengan Covid-19, Abah menilai, dengan segala keterbatasan yang ada membuat seniman dan budayawan sulit menggelar perhelatan, meskipun perhelatan virtual masih bisa dilakukan.

“Bisa juga karena anggaran yang diberikan oleh pemerintah untuk kegiatan mayoritas dipangkas untuk memutus mata rantai Covid-19. Tidak ada linearitas antara bantuan pemerintah dengan tiga pilar budaya yang akibatnya aplikasi dari tiga pilar budaya semakin menurun,” ucapnya.

Tidak hanya itu, Abah menyebut, para pegiat tiga pilar budaya masih ketakutan dan was-was dalam menggelar acara. Biasanya, perhelatan budaya lebih leluasa digelar secara langsung di lapangan.

“Biasanya dalam mengaplikasikan tiga pilar itu di lapangan, karena gak boleh lagi berdekat-dekatan. Mungkin yang namanya Mamaos jika harus berjauhan rasanya tidak enak,” terangnya.

Sementara itu, Budayawan Sunda dan Dosen FKIP Universitas Islam Nusantara (Uninus), Etty Rohaeti Sutisna mengatakan, Cianjur adalah daerah potensial baik dari segi alam dan budayanya.

“Alam Cianjur harus ada yang inventarisasi nama-nama tempat, nanti akan ketemu yang awalnya foklor, flora, fauna, dan sejarah. Bisa saja ada flora khas Cianjur,” ujar dia dalam webinar “Ngamumule Budaya Sunda” yang digelar Hima Prodi PBSI Unsur, pada Rabu (10/3/2021).

Cianjur pun memiliki cagar budaya seperti Gunung Padang, Situs Cikundul, serta gedung-gedung bersejarah yang usianya lebih dari 50 tahun. Etty pun sempat menyinggung soal SDN Ibu Jenab yang dibongkar.

“Saya membaca berita sekolah Ibu Jenab yang dibongkar, padahal itu harusnya dikonservasi, karena itu akan memperlihatkan sejarah Cianjur dan bisa jadi estetika kota,” imbuhnya.

Dalam hal teknologi, tradisi menulis manuskrip dalam budaya Sunda atau biasa disebut mangsi gentur lahir di Cianjur, tepatnya di Desa Gentur, Warungkondang.

“Cianjur juga memiliki Bahasa Sunda dengan dialek khas. Tidak boleh malu dengan dialek Cianjur, karena itu keberagaman. Itu salah satu modal untuk bisa diperkuat, dikembangkan, dan bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” tandasnya.(afs/sis)

banner 325x300
banner 325x300

Tinggalkan Balasan