Berita

PPnBM Digratiskan, Pengamat Ekonomi: Kendaraan Bukan Kebutuhan Primer Bagi Masyarakat

×

PPnBM Digratiskan, Pengamat Ekonomi: Kendaraan Bukan Kebutuhan Primer Bagi Masyarakat

Sebarkan artikel ini
PEMULIHAN: Demi mendukung pemulihan ekonomi di bidang otomotif, pemerintah mengeluarkan kebijakan kebebasan PPnBM mulai 1 Maret 2021 mendatang. (Foto: Afsal Muhammad/cianjurupdate.com)
PEMULIHAN: Demi mendukung pemulihan ekonomi di bidang otomotif, pemerintah mengeluarkan kebijakan kebebasan PPnBM mulai 1 Maret 2021 mendatang. (Foto: Afsal Muhammad/cianjurupdate.com)

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Pemerintah telah memutuskan pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) pada 1 Maret 2021 mendatang. Diketahui kebijakan itu berlaku untuk kendaraan berkapasitas mesin di bawah 1.500 cc, baik untuk kelas Milti Purpose Vehiclle (MPV) maupun Sport Utility Vehicle (SUV).

Pengamat Ekonomi dari Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur, Herlan Firmansyah mengatakan, persyaratan bahwa komponen lokal minimal 70 persen juga ditegaskan agar kebijakan berimplikasi terhadap pelaku industri pendukung otomotif dalam negeri.

“Pemerintah memiliki ekspektasi bahwa kebijakan tersebut dapat memberikan multiplier effect terhadap pemulihan sektor otomotif dengan segala industri pendukungnya,” tuturnya kepada Cianjur Today, Minggu (21/2/2021).

Herlan menjelaskan, industri otomotif selama ini sudah menyerap 70.000 angkatan kerja dengan nilai investasi menembus 100 triliun. Kebijakan tersebut tentu tidak dibuat serta merta, melainkan dengan perhitungan dan sejumlah ekspektasi.

“Namun demikian, apakah kebijakan tersebut tepat? Setidaknya ada dua sisi yang mungkin akan terjadi,” ucapnya.

Pertama, dari sisi pemerintah, kemungkinan yang terjadi adalah penerimaan pemerintah akan turun sehingga realisasi penerimaan perpajakan 2021 yang ditargetkan sebesar Rp1.444,5 triliun atau 82,9 persen dari total penerimaan dalam APBN 2021 tidak akan tercapai.

“Hal tersebut setidaknya disebabkan oleh potensi penurunan penerimaan PPnBM yang berada pada kisaran 2,3 triliun,” jelasnya.

Namun, lanjut Herlan, kemungkinan lain bisa terjadi juga bahwa penurunan penerimaan dari PPnBM dalam jangka panjang bisa diimbangi dengan perbaikan daya beli masyarakat yang terlibat langsung dengan aktivitas sektor otomotif.

“Tentu perbaikan daya beli tersebut akan menggenjot konsumsi nasional dan berimplikasi terhadap penerimaan pemerintah dari PPh dan PPN,” terangnya.

Kedua, dari sisi masyarakat, kebijakan tersebut tentu hanya akan menyasar masyarakat yang daya belinya tidak terdampak pelemahan ekonomi.

“Jumlah masyarakat yang daya belinya masih baik tentu tidak banyak, mengingat pandemi Covid-19 ini sudah meruntuhkan banyak sektor, melenyapkan pekerjaan, dan usaha banyak komponen masyarakat,” ungkapnya.

Ia menilai, pemerintah juga mesti ingat bahwa kendaraan bukan kebutuhan primer bagi kebanyakan orang di Indonesia, artinya kebijakan relaksasi PPnBM tidak akan mengakselerasi volume penjualan kendaraan dan memulihkan sektor otomotif.

“Terlebih kondisi ekonomi yang masih penuh misteri, masyarakat lebih memilih menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan dengan motif berjaga-jaga dan motif transaksi di masa depan dibanding membelikan uangnya untuk membeli kendaraan baru,” paparnya.

Ia menilai, apabila ingin menyasar masyarakat lapisan bawah yang jumlahnya lebih banyak dan relaksasi perpajakan bisa menjadi instrument perlindungan sosial sekaligus pemantik pemulihan ekonomi, maka relaksasi perpajakan sebaiknya dilakukan untuk jenis pajak yang objek pajaknya menyasar kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, seperti PPn barang-barang tertentu.

“PPh Pasal 21 yang menyasar penghasilan yang diterima karyawan dari pekerjaan atau jasa, baik dalam hubungan kerja maupun dari pekerjaan bebas oleh wajib pajak perorangan dalam negeri,” bebernya.

Termasuk, lanjutnya, pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu seperti PPh final bagi UMKM.

“Dengan demikian, relaksasi perpajakan berdampak secara langsung terhadap daya beli masyarakat dan pemulihan sektor ekonomi yang memproduksi kebutuhan primer masyarakat,” tandasnya.(afs/sis)

Tinggalkan Balasan