Bisnis

Transaksi Digital Merajalela, Bagaimana Nasib Uang Kartal?

×

Transaksi Digital Merajalela, Bagaimana Nasib Uang Kartal?

Sebarkan artikel ini

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Transaksi Digital merupakan bagian dari digitalisasi ekonomi. Saat ini memang uang kartal atau, kertas dan logam banyak tergantikan dengan elektronik serta layanan transaksi yang mudah dan praktis. Tapi, bagaimana nasib uang kertas kedepannya?

Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Suryakancana Cianjur, Herlan Firmansyah mengatakan, terdapat suatu gerakan yang disebut Gerakan Nasional Non Tunai yang dicetuskan oleh Bank Indonesia (BI).

“Dan, dalam konteks kebijakan makna ekonomi hanya BI yang memiliki otoritas untuk mencetak dan mengedarkan uang kartal, kalau uang elektronik itu dari luar BI. Boleh dari perbankan, atau boleh non bank. Memang sekarang uang elektronik jadi alat pembayaran, memang begitu adanya,” tuturnya saat diwawancara, Rabu (18/9/2019).

Dengan adanya transaksi digital dan elektronik, Herlan menuturkan, bahwa benar penggunaan dan percetakan uang kartal akan semakin berkurang.

“Jadi, benar penggunaan uang kartal itu akan semakin berkurang, benar akan semakin berkurang, karena BI sendiri sudah mendorong untuk beralih ke elektronik, tak lagi pada kartal” ujarnya.

Uang Kartal Masih Dibutuhkan Untuk Transaksi

Namun, Herlan mengataka uang kartal masih dibutuhkan untuk transaksi tertentu, seperti jual-beli sayuran di wilayah pedesaan. Ia menuturkan belum bisa sepenuhnya dihilangkan.

“Tapi uang kartal tetap dibutuhkan, dalam transaksi tertentu kan dipedesaan beli sayur masih dibutuhkan. Jadi memang belum bisa seratus persen hilang, tapi secara bertahap akan dikurangi,” katanya.

Selain itu, Herlan menjelaskan bahwa terdapat dua fungsi uang yaitu sebagai alat pembayaran dan sebagai satuan hitung.

“Kalau sebagai alat pembayaran maka dia bagi masyarakat tertentu tidak bisa digantikan, di segmen masyarakat tertentu masih punya posisi. Kalau sebagai satuan hitung itu bisa digantikan dengan bentuk apapun, misalnya ini asbak satunya Rp20 ribu, itu bisa dinilai dengan uang kertas bisa dengan uang elektronik,” jelasnya.

“Tapi tidak mudah menghilangkannya, karena ada segmen masyarakat digital masih menggunakan,” sambungnya.

“Belum lagi yang namanya uang elektronik dipengaruhi aspek infrastruktur lain. Kemarin listrik mati seharian, usaha kuliner yang ketergantungan terhadap ojek online itu jatuh omzetnya. Jadi ada pengaruh lainnya. Makanya saya sebut ekosistem.” pungkasnya.(ct1)

Reporter: Afsal Muhammad

Tinggalkan Balasan